Oleh: Intansari Nurjannah, BSN, MNSc
Staff pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta
Ditulis pada Mei 2012
LATAR BELAKANG
Profesi perawat menggunakan proses keperawatan (nursing process) sebagai kerangka pikir dan kerangka kerja dalam merawat pasien. Keperawatan sebagai proses, diperkenalkan sejak tahun 1955 oleh Hall dan pada tahun 2004 proses keperawatan (nursing process) ditetapkan sebagai series of steps oleh ANA (American Nursing Association) (Wilkinson, 2007), yang terdiri dari pengkajian, penetapan diagnosa, perencanaan hasil, perencanaan intervensi, implementasi dan evaluasi.
Pada prakteknya, perawat sering mengalami kesulitan dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Hasil diskusi dengan beberapa perawat baik perawat klinik atau pengajar, didapatkan informasi bahwa sering sekali perawat kesulitan dalam hal menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat bagi pasien. Pada kasus yang lain, data mungkin dikumpulkan tanpa menyadari mengenai ‘apa diagnosanya’ (Lunney,2008)
Perawat mungkin juga mengumpulkan data yang mempunyai relevansi yang rendah dengan diagnosa keperawatan tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa rendahnya keakuratan dalam diagnosa keperawatan berkaitan dengan banyaknya jumlah data yang relevansinya rendah.
Diagnosa keperawatan yang dianggap paling sering beredar antara lain ‘Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari hari’. Suatu diagnosa keperawatan yang tidak dapat dirujuk sumbernya ke dalam daftar diagnosa menurut taxonomi NANDA 2012. Diagnosa keperawatan yang lain adalah ‘Gangguan persepsi sensori: Halusinasi’ suatu diagnosa yang penulisannya pun tidak tepat menurut taksonomi NANDA 2009. Informasi ini menunjukkan bahwa perawat sendiri tidak memahami bahwa diagnosa tersebut mungkin tidak ‘exist’ dalam ilmu keperawatan atau perawat tidak menyadari telah keliru dalam melabelkannya.
Ketidakmampuan memunculkan diagnosa keperawatan akan berimbas kepada ketidakmampuan dalam menentukan tujuan dan juga merancang intervensi. Tanpa rancangan intervensi yang jelas, maka aktifitas perawat tidak akan terlihat bermakna baik bagi klien, tenaga kesehatan yang lain ataupun bagi perawat sendiri.
Ketidakmampuan memunculkan diagnosa keperawatan akan berimbas kepada ketidakmampuan dalam menentukan tujuan dan juga merancang intervensi. Tanpa rancangan intervensi yang jelas, maka aktifitas perawat tidak akan terlihat bermakna baik bagi klien, tenaga kesehatan yang lain ataupun bagi perawat sendiri.
Hasil workshop NNN dan aplikasi NANDA yang dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia (Medan 14-15 Mei 2012, Bengkulu 16 Mei 2012 dan Jakarta 17 Mei 2012) menunjukkan bahwa sebagian besar perawat tidak familiar dengan ‘bunyi’ diagnosa keperawatan. Ketidak-’familiar’-an ini menunjukkan bahwa perawat belum betul betul menguasai keilmuannya sendiri. Hal ini yang mungkin menyebabkan perawat kehilangan jati dirinya, tidak menemukan ‘ruh’ keilmuan keperawatan dan pada akhirnya tidak mampu menunjukkan bahwa perawat adalah salah satu anggota tim kesehatan yang sangat penting dan dibutuhkan.
Tim kesehatan layaknya adalah sebuah tim sepak bola. Setiap pemain mempunyai posisi dan tugas sendiri sendiri. Apabila salah satu anggota tim tidak bisa menyebutkan apa tugasnya, dan apa saja yang akan dilakukannya, maka anggota tim ini akan diberikan tugas lain yang tidak berkaitan dengan perannya dalam tim sepak bola tersebut, atau bahkan di tempatkan di luar lapangan dan diminta menyiapkan minum atau handuk bagi pemain lain atau bahkan mengambilkan bola yang terlempar keluar (Pearson, et. al, 2005). Seperti itukah posisi perawat saat ini dalam tim kesehatan?
Salah satu contoh diagnosa keperawatan yang sebagian besar perawat tidak familiar adalah diagnosa ‘Risk for Relocation Stress Syndrome’. Ini adalah diagnosa keperawatan yang terdapat dalam daftar dignosa keperawatan taxonomi NANDA (2005-2012) yang hanya akan muncul pada situasi dimana seseorang mengalami proses perpindahan (masuk ke bangsal, pindah bangsal, contohnya). Situasi ini selalu ada pada saat pasien masuk rumah sakit, tetapi apakah perawat berinisiatif mengkaji untuk melihat apakah diagnosa ini dialami atau tidak oleh pasien? Apakah perawat menyadari adanya ‘kemungkinan’ diagnosa ini? Atau apakah perawat pernah mendengar ‘bunyi’ diagnosa ini? Atau pernahkan perawat mendengar bunyi diagnosa yang lain misalnya ‘Sedentary life style’? jika belum pernah sama sekali, mungkin perawat perlu menyadari bahwa ternyata pengetahuan perawat mengenai diagnosa keperawatan perlu ditingkatkan.
Bagaimana dengan petugas kesehatan yang lain? Dokter misalnya? Pada dasarnya, dokter juga melakukan pengkajian dan menentukan diagnosa medis. Sepengetahuan penulis, setiap dokter familiar dengan kemungkinan ‘label’ diagnosa medis yang ada pada pasien, contohnya ‘appendicitis’. Atau apabila dokter perlu mencari rujukan apa diagnosa medis nya maka dokter memiliki ‘kitab’ khusus antara lain ICD (International Classification of Disease).
Untuk membaca artikel lengkapnya bisa dibaca klik disini