Intansari Nurjannah, SKp., MNSc., PhD 5 Oktober 2014
Proses keperawatan terdiri dari pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan outcome dan intervensi serta implementasi dan evaluasi (Carpenito 2006). Penegakan diagnosa yang akurat merupakan langkah awal yang sangat penting untuk dapat membuat rencana asuhan keperawatan yang tepat pada klien. Meskipun begitu, Yang et al. (2012) menyebutkan bahwa perawat terkadang terlalu percaya diri mengenai keakuratan penilaian yang mereka lakukan, dan hal ini dapat berkembang menjadi ketidakakuratan dalam membuat diagnosa. Banyak hal yang mempengaruhi keakuratan dalam menegakkan diagnosa. Studi yang dilakukan oleh Nurjannah et al. (2013) meneliti perbandingan keakuratan menegakkan diagnosa keperawatan dan kolaboratif dengan membandingkan dua metode dalam menegakkan diagnosa yaitu metode 4 tahap (Wilkinson 2007) dan 6 tahap (6 steps of diagnostic reasoning method) (Nurjannah & Warsini 2013). Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan 6 steps of diagnostic reasoning method terbukti telah meningkatkan kemungkinan penegakan diagnosa keperawatan yang lebih akurat (Nurjannah et al. 2013).
Langkah selanjutnya dalam asuhan keperawatan adalah menentukan outcome dan intervensi. Seperti halnya penegakan diagnosa yang telah di fasilitasi dengan adanya standardized nursing language, pemilihan outcome dan intervensi juga sudah difasilitasi dengan adanya Nursing Outcome Classification (NOC) dan Nursing Intervention Classification (NIC). Meskipun telah difasilitasi, tetapi penggunaan NOC tidak serta merta mudah dikarenakan jumlah pilihan NOC dan NIC yang sangat banyak. Ditambahkan lagi dengan adanya informasi terkait dengan bagaimana pemilihan dan penggunaan NOC dan NIC dikaitkan dengan format diagnosa keperawatan dalam bentuk PES (statement: Problem, Etiology, Symptoms), PE (statement: Problem, Etiology) dan P (statement: Problem) menyebabkan semakin tidak mudah bagi perawat untuk menentukan pilihan NOC dan NIC.
Referensi menyebutkan bahwa pemilihan NOC di dasarkan pada P sedangkan pemilihan NIC di dasarkan pada apa E (Etiology) dari diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan (Bulechek et al. 2008). Meskipun ini menjadi rule of tumb dari pemilihan NOC dan NIC tetapi sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di setting klinik, penggunaan format PES, PE dan PE ini serta pemilihan NOC dan NIC tidak selalu mudah digunakan. Contohnya adalah pada saat etiologi yang ada adalah unknown/tidak diketahui (Carpenito 2006). Penulisan etiologi ini diperbolehkan oleh Carpenito (Carpenito 2006). Tetapi secara akal sehat kita menjadi berpikir, jika etiology unknown, lalu pemilihan NIC akan merujuk kemana?
Kesulitan bertambah pada saat kita mengetahui bahwa penulisan format PES di sarankan digunakan hanya pada mahasiswa saja (Wilkinson 2007) sedangkan untuk dokumentasi di institusi – rumah sakit misalnya - bisa saja hanya menyebutkan P (Problem/Label diagnosa) saja sedangkan E (Etiology) dituliskan dalam catatan perkembangan saja. Hal ini dikarenakan penulisan E (Etiology) tetap penting untuk dicantumkan karena merupakan bukti apakah diagnosa keperawatan tersebut akurat atau tidak (Herdman & Kamitsuru 2014).
Lalu apakah format PES atau PE ini tidak perlu digunakan oleh perawat? Pertanyaan ini perlu mendapatkan jawaban sehingga terdapat keseragaman bagaimana semestinya standardized nursing language baik untuk label diagnosa, outcome dan intervensi bisa diaplikasikan.
Apabila kita melihat fenomena di lapangan, sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab dengan mengikuti alur proses alamiah yang ada. Apa yang terjadi di setting klinik sebenarnya mengikuti beberapa urutan baku. Urutan pertama adalah perawat mendapatan data dan kemudian menganalisis data dan akhirnya perawatan menegakkan diagnosa. Proses ini adalah proses diagnostic reasoning yang bisa saja menggunakan 6 steps method of diagnostic reasoning (Nurjannah et al. 2013) atau menggunakan metode yang lain.
Tahap lanjutan yang perlu dilakukan adalah dengan memilih NOC dan NIC yang sesuai dengan label diagnosa. Proses lanjutan ini memerlukan ketrampilan lain yang dapat dikategorikan dalam proses yang membutuhkan kemampuan ‘clinical reasoning’. Clinical reasoning merupakan istilah yang dipilih untuk digunakan dalam makalah ini. Alasan penggunaan istilah ini adalah pengertian dari ‘clinical reasoning’ yang melibatkan aktifitas keperawatan dengan cakupan yang lebih luas. Beberapa penulis menyebutkan bahwa clinical reasoning melibatkan alternative intervensi yang diperlukan oleh pasien (Cottrill 2013, Elstein & Bordage 1991, Tanner 2006).
Adapun alur dari clinical reasoning dalam proses menentukan NOC dan NIC dapat dilihat dalam bagan Intan’s Clinical Reasoning Model (ICRM) di atas.
ICRM merupakan proses lanjutan setelah label diagnosa keperawatan dipilih dengan menggunakan The 6 steps method of diagnostic reasoning (Nurjannah et al. 2013). Langkah awal dalam ICRM adalah dengan melihat seperti apakah statement dari diagnosa tersebut. Apakah pada saat itu statement atau pernyataan diagnosa keperawatan yang telah di tegakkan (confirmed) tersebut merupakan statement diagnosa dengan PES atau PE atau P saja? Apabila diagnosa yang ditegakkan adalah diagnosa dengan tipe Problem Focused atau Risk (Herdman & Kamitsuru 2014) tentu dalam pernyataannya diagnosa ini membutuhkan komponen E (Etiology). Hanya saja bisa saja terjadi E (Etiology) belum terkaji atau bahkan unknown (Carpenito 2006). Di sinilah critical point penting bagi perawat. Seperti tampak dalam bagan dengan dua tipe statemen diagnosa yang berbeda di atas bahwa perbedaan tipe statemen diagnosa ini akan memunculkan dua tipe perencanaan yang berbeda (initial/general planning atau specific planning). Hal ini dikarenakan tipe dari statemen diagnosa akan menentukan langkah selanjutnya dalam pemilihan NOC dan NIC.
Idealnya, penegakan diagnosa keperawatan perlu sekaligus diikuti dengan memunculkan apa etiologi dari diagnosa dan mencantumkan symptoms. Tetapi sering juga terjadi P sudah dapat diidentifikasi tetapi etiologinya masih belum terkaji. Pada situasi seperti ini, NIC tetap bisa dipilihkan berdasarkan pada P (Problem). Demikian juga dengan NOC yang pada dasarnya memang ditentukan pilihannya dengan mempertimbangkan apa P (Problem) dari diagnosa tersebut. NIC yang terpilih berdasarkan P (dengan asumsi sementara P adalah unknown etiologi) dapat diimplementasikan sambil terus mengkaji etiologi dari label diagnosa tersebut. Jadi meskipun etiologi belum dapat diidentifikasi, telah terdapat pilihan NIC dan dapat diimplementasikan.
Pada proses implementasi, bisa jadi perawat baru bisa menemukan Etiologi (E). Apabila hal ini terjadi maka perawat kemudian beralih ke alur dimana tipe statemen diagnosanya adalah statemen diagnosa dengan etiologi yang spesifik. Perawat kemudian perlu memilih NIC yang spesifik mengacu kepada etiologi dari statemen diagnosa ini. Pemilihan NIC ini juga perlu diikuti pemilihan NOC yang mungkin diperlukan untuk melihat apakah implementasi NIC yang dipilih ini dapat diukur keberhasilannya dengan pilihan NOC yang baru. Tetapi tentu saja pemilihan NIC dan NOC baru ini tidak selalu terjadi, dan hal ini wajar karena permasalahan pasien bisa saja memiliki etiologi yang berbeda. Tidak selalu dengan adanya etiologi yang spesifik kemudian memunculkan NIC dan NOC yang baru.
Proses selanjutkan dalam ICRM ini adalah evaluasi yang spesifik membandingkan antara skala atau skor indicator dari nilai baseline (sebelum intervensi) dengan setelah intervensi (nilai yang ditargetkan). Hasil evaluasi di sini akan memunculkan tiga kemungkinan, yaitu masalah terselesaikan, munculnya diagnosa keperawatan yang baru dan masalah terselesaikan sebagian. Pada kondisi dimana masalah teratasi sebagian/pencapaian skala indicator tidak tercapai sebagian, maka perawat perlu memikirkan untuk memodifikasi NOC dan NIC dan mengimplementasikan serta kemudian melakukan evaluasi kembali. Situasi dimana terdapat diagnosa keperawatan baru (melalui penggunaan 6 steps of diagnostic reasoning method ) akan kemudian men-trigger kembali proses di atas.
Tipe statemen diagnosa apa yang ada pada klien bisa saja berubah dengan sangat cepat. Contoh kasus di bawah ini akan menunjukkan bagaimana aplikasi dari ICRM ini: Misalnya pasien dibawa ke UGD karena mengalami luka-luka di pergelangan tangannya akibat perilaku usaha bunuh diri. Setelah perdarahan ditangani dan luka di kelola, yang merupakan intervensi berdasarkan Diagnosa Risk for Shock (00205) b/d Impaired Skin Integrity (code: 00046) (Herdman 2012), fokus utama dari perawat adalah pada diagnosa Risk for Suicide (00150) (Herdman 2012). Risk for Suicide (00150) adalah diagnosa resiko yang dalam statemen penulisannya memerlukan E (Etiology). Pada saat itu perawat sudah mencoba menggali penyebab perilaku bunuh diri, dengan menanyakan pada pasien tetapi pasien masih belum mau menjawab. Pengkajian dilanjutkan pada keluarga untuk mengetahui etiologi dari label diagnosa ini, tetapi keluarga tidak bisa menyebutkan dengan pasti, karena selama ini pasien pendiam dan tidak pernah menyampaikan bahwa dia mengalami masalah yang berat.
Pada situasi ini, statemen diagnosa yang ditemukan oleh perawat adalah statemen diagnosa dengan E (Etiology) unknown. Meskipun etiologi masih belum diketahui, tapi perawat tetap dapat memilih NOC dan NIC berdasarkan label diagnosa Risk for Suicide (00150) (Herdman 2012). Perawat dapat memilih NOC Depression Level (1208), Mood Equilibrium (1204) atau Suicide Self-Restraint (1408) (Moorhead et al. 2004) sedangkan NIC yang bisa dipilih mungkin adalah Complex Relationship Building (5000), Suicide Prevention (6340) dan Crisis Intervention (6160) (Bulechek et al. 2008).
Pada saat perawat mengimplementasikan beberapa NIC tersebut, mungkin pasien sudah mulai percaya dan bersedia mengungkapkan apa penyebab dari perilaku percobaan bunuh dirinya tersebut. Misalnya pasien menyatakan putus harapan (Hopelessness – label diagnosa code: 00124). Apabila perawat telah dapat mengkonfimasi keakuratan dari E (Etiology) ini, maka statemen diagnosa berubah menjadi statemen diagnosa dengan tipe P b/d E : Risk for suicide r/t Hopelessness.
Berdasarkan hasil penegakan diagnosa yang baru ini, maka perawat perlu mempertimbangkan menambahkan NOC dan NIC baru terkait dengan etiologi yang baru ini. Pilihan tambahan NOC lain adalah Hope (1201) (Moorhead et al. 2004) dan NIC tambahan yang spesifik adalah Hope Inspiration (5320) (Bulechek et al. 2008). Ini merupakan tambahan NOC dan NIC sebelumnya.
Adapun informasi lanjutan untuk bisa menggunakan Intan’s Clinical Reasoning Model ini bisa didapatkan dengan mengikuti pelatihan ICRM ini.
Cara mencitase artikel ini menggunakan APA style adalah sebagai berikut:
Nurjannah, I. (2014, October 13). Clinical reasoning model for NOC and NIC application. Retrieved from http://keperawatan.ugm.ac.id/berita-psik-fk-ugm/berita-psik-fk-ugm/52-clinical-reasoning-model-for-noc-and-nic-application.html
Referensi:
- Bulechek G, M, Butcher H, K & Dochterman J, M (2008) Nursing Intervention Classification. Mosby Elsevier, St Louis, Missouri.
- Carpenito L, J, M (2006) Nursing Diagnosis Application to Clinical Practice (11rd ed.). Lippincott Williams & WIlkins, Philadelphia.
- Cottrill RR (2013): A Demonstration of Clinical Reasoning Through a Case Of Scrotal Infection. Urologic Nursing 33, 33-37.
- Elstein A & Bordage J (1991) Psychology of clinical reasoning. In Professional Judgment: A Reader in Clinical Decision-Making (Dowie J & Elstein A, S eds.). Cambridge University Press, New York.
- Herdman T, H (2012) NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions & Classification, 2012 - 2014. Oxford: Wiley-Blackwell.
- Herdman T, H & Kamitsuru E (2014) NANDA International Nursing Diagnoses: Definition & Classification, 2015-2017. Wiley Blackwell, Oxford.
- Moorhead S, Johnson M & Maas M (2004) Iowa Outcome Project Nursing Outcome Classification (NOC). Mosby, St Louis, Missouri.
- Nurjannah I & Warsini S (2013) Diagnostic reasoning in nursing: a new method in making diagnoses. In Contemporary Issues in Nursing: An International Perspective (C.Kewley ed.). Springer, Singapore.
- Nurjannah I, Warsini S & Mills J (2013): Comparing methods of diagnostic reasoning in nursing. Journal of Nursing and Health Care 1.
- Tanner CA (2006): Thinking like a nurse: a research-based model of clinical judgment in nursing. Journal of Nursing Education 45, 204-211.
- Wilkinson J, M (2007) Nursing Process and Critical Thinking. Pearson Education, New Jersey.
- Yang H, Thompson C & Bland M (2012): The effect of clinical experience, judgment task difficulty and time pressure on nurses' confidence calibration in a high fidelity clinical stimulation. BMC Medical Informatics and Decision Making 12, 113.